Untuk BADA Associates dan teman-teman desainer
"Mengapa orang mau bersusah payah mendaki gunung kalau dia pasti akan turun lagi?" Pertanyaan tersebut diajukan seorang guru saya di sebuah kelas. Ketika itu, kami termangu mencari-cari jawabannya. Lalu dia menyahut, "Mereka ingin melihat dengan cara yang baru, meluaskan pandangan."
Melihat dari atas gunung memungkinkan kita melihat banyak hal hanya dalam satu momen pengelihatan. Itu momen yang sublim. Itulah sebabnya jari kita selalu menunjuk ke atas jika menyebut sosok yang Mahamelihat, seperti kamera CCTV. Dalam fotografi cara melihat seperti ini kerap disebut bird's eye view, kita bisa membayangkan melihat bagai burung yang sedang terbang sembari mengamati. Dalam desain, cara pandang ini amatlah berguna untuk membuat denah atau peta lokasi.
Desainer membutuhkan banyak cara pandang, dia harus lincah membaur dan melintas di antara berbagai cara pandang. Keterbatasan sudut pandang, membuat desainer selalu mengeluh dengan cara yang sama ketika berhadapan dengan suatu masalah. Akibatnya, respon dan solusi yang dihasilkan adalah solusi berulang yang itu-itu saja alias kekancing (terkunci). Memiliki kemampuan melihat dari berbagai perspektif, terlebih dari perspektif yang lebih luas memungkinkan seorang desainer melihat silang sengkarut permasalahan sehingga mampu menimbang dan mengartikulasikan pemecahan masalah dengan dengan bahasa yang berbeda. Mungkin ini yang disebut teman-teman BADA Associates sebagai bahasa desain alternatif. Bahasa yang muncul dari kekayaan kosa kata/gambar serta niat untuk melihat dari perspektif atau disiplin liyan.
Selain memiliki cara pandang yang beragam, desain adalah aktivitas interdisiplin. Artinya desainer dituntut untuk bekerja dalam arena yang melibatkan berbagai disiplin keilmuan. Namun, mustahil bagi seorang desainer untuk menguasai banyak hal. Keterbatasan itulah yang membuat kerja desain tidak eksklusif namun kolaboratif. Kursi yang ada di ruang praktik dokter gigi hari ini, adalah perkembangan lebih lanjut dari kursi kayu yang pertamakali dipatenkan oleh dr. James Beall pada 1867. Dr. Beall adalah seorang dokter gigi bukan seseorang yang berprofesi sebagai desainer produk. Meskipun kita bisa membayangkan dalam perancangannya mungkin setidaknya melibatkan bantuan dari juru gambar, tukang kayu dan mekanik. Seorang dokter gigi adalah orang yang paling paham dan punya kepentingan dengan kursi tersebut, maka aktivitas perancangannya melibatkan pengetahuan dari praktik kedokteran yang dilakoninya. Contoh lain: saya adalah salah satu dari sedikit desainer grafis yang tidak cakap menggambar. Oleh karena itu, saya berpaling pada tata letak dan tata huruf. Jika membutuhkan gambar, saya akan bekerjasama dengan ilustrator atau perupa. Yang perlu saya tahu adalah tujuan saya mendesain. Sesederhana itu.
Desain selalu berorientasi kepada tujuan. Oleh karena itu, dalam arti yang luas, kita semua adalah desainer. Kita memilih pakaian yang hendak dipakai, memilah perabot yang cocok untuk rumah, memilih warna seprei untuk kamar, memajang foto yang paling yahud untuk media sosial dan sebagainya. Disadari atau tidak, semua itu adalah aktivitas mendesain: memilah, mengatur, hingga mengkomunikasikan gagasan tentang diri. Alhasil, desain melampaui perkara visual atau teknis tertentu, desain adalah komposisi sekaligus komunikasi gagasan. Pada tingkatan tertentu, desainer adalah perajut makna.
Pada tingkatan lain, desainer adalah perajut masa depan. Dengan memahami konteks atau peta besar permasalahan desain, karya desain mampu bergerak melampaui bentuk dan fungsinya. Ketika ipod muncul kali pertama, ia bukan cuma berfungsi alat pemindah playlist dari hardisk komputer ke gawai seukuran telapak tangan, namun lebih dari itu, ipod mengubah cara industri musik bekerja. Ipod bergerak melampaui fungsinya sebagai gawai pemutar musik, lebih dari itu ipod menciptakan dunia baru.
---
KETIKA mendengar Ahmad Maratus menamai asosiasi ini BADA, telinga saya seperti mendengar Bakda. Dalam bahasa Indonesia, bakda atau ba'da berati setelah atau melampaui. Bakda mulud berarti setelah bulan Mulud. Orang Jawa sering menyebut Idul Fitri sebagai Bakda, yang artinya setelah atau selesai puasa. Bagi saya, kelahiran BADA adalah laku bakda desain. Laku reflektif setelah melakoni kerja desain. Sebagai desainer mereka menyadari bahwa menjalani laku desain saja tidaklah cukup. Rasa-rasanya masih ada pertanyaan yang belum terjawab tuntas: tidak memuaskan nalar dan rasa. Rupanya mereka adalah desainer yang gelisah dan curiga dalam menjalani profesinya. Bukankah kegelisahan dan kecurigaan adalah awal dorongan intelektual untuk mencari kebenaran?
Menurut manifestonya, BADA adalah ruang bagi diskursus desain untuk terus tumbuh subur. Lalu bagaimana caranya membuat subur? Rencananya mereka hendak memupuk pelaku dalam industri desain dan irisan alternatif untuk terus menggali potensi, mengembangkan gagasan, dan menemukan respons terbaik dalam suatu permasalahan. Niatnya mulia: menjadi wadah diskusi dan akses literasi bagi desainer Indonesia. Nampakmya ini adalah kerja yang berat dan butuh komitmen seumur hidup.
Laku berasosiasi atau berserikat adalah upaya mempertemukan orang-orang dengan kegelisahan yang sama alias satu frekuensi. Asosiasi menandai peristiwa yang ramai: hingar bingar perkumpulan, kegiatan dan percakapan. Namun, asosiasi (terlebih bagi yang berniat menjadi ruang diskusi dan akses literasi) juga perlu membaca, mengartikulasikan gagasan, mengkritik serta mewariskan arsip pengetahuan. Salah besar apabila ada yang bilang: "Desainer tidak perlu berurusan dengan tulisan". Justru lewat membaca, desainer memperoleh cara pandang baru dan lewat menulis desainer semakin bermakna dan menemukan dirinya. Desainer legendaris Massimo Vignelli pernah bilang begini: “Design will never be considered a real profession without a body of criticism.” Maka perlu disadari pula, bahwa menulis kritik desain adalah agenda penting untuk asosiasi ini. Bahkan Steven Heller, penulis dan kritikus desain paling produktif saat ini, menyatakan bahwa "writing is design". Layaknya mendesain, menulis adalah puncak dari proses memahami, meneliti, menganalisis, menata, dan menyusun. Budaya baca-tulis dan kritik lahir dari permenungan reflektif dalam kesunyian. Maka asosiasi sekaligus menandai peristiwa yang sunyi: membaca, mengarsip dan menulis. Ah ini cuma tafsiran saya saja karena BADA adalah brand yang terbuka untuk ditafsirkan. Selamat bercakap dan melampaui!
Surabaya, 23 Mei 2022
Gamaliel W. Budiharga adalah pengarah desain lulusan Fisipol UGM dan Magister Desain ITB. Saat ini bersama Senja Aprela Agustin, teman hidupnya, mengelola Kotasis 333 (studio desain grafis rumahan) dan Sir (studio sandang rumahan) di pinggiran Surabaya. Beberapa kali mendapatkan penghargaan Pinasthika Award untuk kategori desain grafis.